FOCUS
Tidak pernah terpikir oleh saya kalau hobby saya seperti foto, mereview produk-produk dan berbagi cerita membawa blog ini menjadi bagian dari karier saya. Di satu sisi awalnya saya cukup kaget dengan komentar-komentar negatif yang ditujukan untuk saya lewat social media. Awalnya saya gampang ‘panas’ dan sakit hati sewaktu seseorang bilang saya gendut, mencela bentuk betis saya atau menertawakan bagian fisik lainnya, lalu hal itu berlanjut lagi lagi dan lagi seperti yang sudah saya pernah ceritakan di blog ini. Ntah orang iseng kurang kerjaan dari mana yang membuat fake account dengan nama saya, lalu ia mengunggah foto saya yang memang terlihat gemuk. Dengan ‘rajin’nya orang ini mention orang-orang yang saya follow, intinya ia ingin saya terlihat jelek di mata semua orang. Gak beda jauh deh rasanya seperti ditertawakan ramai-ramai di depan umum.
Fase orang-orang mencela fisik saya pun terlewatkan, lalu mulai silih berganti hingga menyerang orang-orang yang saya sayangi. Suami saya beberapa kali dihina dan diremehkan, “Suaminya ngga jelas pekerjaannya. Kok kakak mau?”
Setelah saya punya anak, orang-orang mulai iseng lagi bilang anak saya jelek, jelek yah mirip bapaknya, kok mirip suaminya sih? Kenapa gak mirip kak Alo? dan berbagai kata-kata lain yang sifatnya bullying. Paling memorable, ada seorang Instagram user yang menuduh anak saya down syndrome karena saya tidak memajang foto-foto anak saya setelah lahiran. Ntah apa yang orang ini pikir, yang jelas ia cukup kreatif untuk mengada-ada sebuah cerita.
Ketika saya curhat soal kekesalan atau kesedihan saya dengan beberapa orang, reaksinya pun beragam. Yang terkadang bikin gemas adalah ketika beberapa orang menganggap remeh dengan mengatakan, ya itu resiko jadi seleb, ya itu resiko jadi orang terkenal, ya itu resiko pekerjaan. Percaya lah, saya yakin tidak ada satu orang pun yang berprofesi sebagai selebriti, artis, blogger maupun influencer yang memikirkan hal (resiko) ini sebelumnya.
Yang paling menenangkan dan selalu saya ingat ketika seseorang yang saya kenal, notabene seorang penyanyi terkenal di tanah air, meladeni curhatan saya malam-malam lewat Whatsapp. Waktu itu sangat yakin saya curhat dengan orang yang tepat kalau urusan cyber bullying, secara teman saya ini followers Instagramnya lebih dari 2 juta orang – belum lagi personal life-nya selalu jadi bahan omongan para pengikutnya maupun para haters. Ia mengatakan bahwa kita kadang-kadang dan tanpa disadari selalu fokus dengan yang negatif saja.
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Jelek”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Bagus”
“Gimana bisa kesimpulannya “jelek”? Kan harusnya ngga begitu.. Tapi sering kali kita malah fokusnya hanya ke yang negatif.”
Seketika saya lega bacanya. Benar juga ya, harusnya saya tidak fokus dengan yang negatif.
Lalu saya diam, berpikir lagi.
Saya juga manusia yang punya perasaan sedih, senang, marah, capek dan stres. Terkadang kalau saya bad mood dan baca komentar negatif, saya juga bisa makin bad mood. Mungkin saya bisa tidak tidur semalaman ketika suami dan anak saya ikut dihina. Mungkin saya bisa menangis ketika fisik saya dicela, atau saat orang bilang saya munafik karena blog dan Instagram saya ‘palsu’ karena ada sponsored posts.
Saya juga manusia loh yang punya perasaan.
Mungkin pembaca saya perlu tau bahwa perlu waktu yang lama sekali, yaitu bertahun-tahun, untuk menerima dan mencintai diri saya apa adanya. Saya melalui proses yang sangat-sangat panjang untuk bisa percaya diri tampil di depan umum, nyaman dengan tubuh saya, menyuarakan pikiran-pikiran saya hingga saya punya semangat untuk bergerak dengan tujuan membantu perempuan-perempuan lain (dalam hal ini pembaca blog saya). Tidak mudah rasanya untuk percaya diri dan menyuarakan pikiran kita jika kita punya masa lalu yang tidak menyenangkan.
Bullying bukan sesuatu yang asing atau baru untuk saya, hanya kini medianya berbeda saja. Saat sekolah, saya pun jadi salah satu anak yang sering dibully. Dari Sekolah Dasar saya sudah dicela-cela karena saya keturunan Tionghoa, setiap tahunnya saya juga merayakan Imlek (waktu itu jamannya Pak Harto) dan harus merahasiakannya dari teman-teman sekolah saya. Sewaktu SMA saya sering ditertawakan di lapangan sekolah saat upacara, dicela, diremehkan sampai ada saatnya saya menangis di toilet sekolah.
Tapi percaya lah, orang-orang tukang bully dan haters itu sekarang bukan siapa-siapa dan gak jadi apa-apa.
Kenapa?
Karena mereka sibuk ngurusin kehidupan orang lain dan membenci orang lain tanpa alasan pasti. Kata yang tepat adalah insecure. Mereka insecure dengan dirinya sendiri, jadinya malah cari bahan ejekan atau menumpahkan kekesalannya terhadap diri sendiri.
Sedangkan yang jadi korban bullying, banyak yang memilih untuk diam dan introspeksi. Mencoba mencintai dirinya sendiri dan menerima dirinya apa adanya. Alhasil, orang-orang ini yang akan berkembang dan tumbuh menjadi pribadi yang menerima dan mencintai diri mereka apa adanya.
“The thing is, no matter how good you try to be, some people will just find a reason to project their negativity, which I think, are actually grown out of their own insecurities. Therefore, see the bigger picture. All the hate comments you're receiving are actually not personal to you - it's all about the haters themselves and what is missing inside of them.”
- Diana Rikasari
Semakin hari saya semakin mengerti dan memahami bahwa jika ada yang membenci, mencela atau ingin menjatuhkan saya, apalagi orang tersebut bukan orang yang saya kenal – itu bukan sepenuhnya masalah saya. Itu masalah mereka.
Karena itu saya harus lebih fokus lagi dengan orang-orang yang menerima dan menyayangi saya apa adanya. Orang-orang yang memotivasi saya tanpa kenal lelah. Orang-orang yang berterima kasih dan mengapresiasi dengan apa yang selama ini saya kerjakan. Orang-orang yang berkata mereka terinspirasi oleh saya, tapi mereka lah yang sebenarnya menginspirasi saya.
Focus on what you can control, not what you can’t. And do not feel sorry for yourself.
God bless you all x
Image from Pinterest.
Posting Komentar untuk "FOCUS"